Masa Bocah Petualang
Some
of you might have a peaceful childhood but my childhood was full of drama.
Sering
berantem waktu masih kecil? Sering musuhan sama temen? Sering diledekin sama
temen? Sering diem-dieman sama temen sampai berminggu-minggu? Dan biasanya
semua itu terjadi karena masalah yang benar-benar sepele. Super sepele kadang. Diingat-ingat
sekarang, kenapa jadi lucu?
Waktu
masih kecil teman-temannya yang sekitar rumah. Kita besar bareng, sekolah
bareng, jelaslah main juga bareng. Sekarang rasanya bersyukur sekali bisa punya
masa kecil sebebas burung. Biarpun kena marah hampir tiep hari. Ohiya, my
father was a bit extreme back then. Tapi semakin di-esktrim-kan, malah makin
nakal.
Balik
dari sekolah itu punya jadwal main perosotan. Bukan ditaman bermain atau di
perosotan cantik loh ya. Kita perosotannya ditebingan tanah liat. Bayangkan saja
bentuk seragam sekolah. Mesti ganti tiap hari karena warnanya sama ama tanah
yang abis diprosotin. Sungguh bocah ingusan.
Sampai
rumah, ganti baju langsung makan. Jajan kita gak banyak dan tentunya butuh
amunisi buat berangkat main lagi. Main ronde dua.
Ronde
pertama main itu disekolah, ronde kedua masih main sama anak-anak yang sama
tapi beda tempat. Sekarang di lapangan yang gak jauh dari rumah. Gak pernah
butuh janjian, kita pasti ketemu temen disana.
Disini
biasanya temen yang benaran besar bersama karena rumah kita dekatan. Anak-anak
yang sama dan serunya minta ampun. Jenis permainan kita juga sungguh kreatif. Cewek
cowok main bareng apapun jenis permainannya.
Kadang
kita main perang-perangan. Kadang main masak-masakan. Kadang main pondo-pondokan.
Kadang main dagang-dagangan. Apa aja dijadikan seru. Beberapa permainan gak
mesti bikin property tapi ada kalanya kita benaran sibuk.
Property
selalu dari alam. Berkeliling kesana-kemari nyari bahan buat main. Gak adalah
namanya yang beli hampir semua mainan itu bikin sendiri atau hasil pencurian. Kebanyakan
hasil curian sih keknya.
Main
pondok-pondokan misalnya. Yang perlu dikumpulin itu daun pisang dan ranting. Setelah
nentuin dimana lokasi bakal main, kita mulai berkelana cari bahan. Pencurian daun
pisang bisa sangat beresiko. Kita gak bisa ambil dari pohon yang tinggi karena
masih pada semeter kurang. Belum lagi statistic pencurian. Gak boleh ambil dari
tempat yang sama dengan jumlah yang banyak karena kalau diteriakin nenek yang
punya pohon pisang bisa sangat menyeramkan.
Ranting
dikumpulkan dari menjelajah disekeliling lingkungan. Dulu sih masih banyak
banget yang punya pekarangan luas dan dijadikan kebun sekitar rumah. Tempat sempurna
buat ngumpulin semua keperluan main. Ranting dijadikan alasan buat tarik ubi
jalar. Kadang nanas-nanas yang tersembunyi dibalik rimbunan semak ikut
digondol. Babi hutan itu hama dikebun, kita anak-anak ingusan ini jelas hama
dilingkungan rumah.
Terkumpulnya
bahan, mulailah dibangun pondok-pondokan super acak kadut. Disusun sedemikian rupa
sambil menahan digigit nyamuk. Begitu pondokan selesai, mulailah penyusunan barang. Terus role
playing dimulai. Ada yang jadi kepala rumah tangga, ibu rumah tangga, anak,
tamu. Semuanya ada.
Permainanpun
berlangsung super seru. Sampai kalau turun hujan, tetap bertahan dibawah pondok
reot yang Cuma diikat tali sana-sini. 5 menit kemudian sipondok roboh dan
permainan berubah jadi hujan-hujanan.
Eyaay!!
Hujan-hujanan itu luar biasa.
Dari
semua jenis permainan, hujan-hujanan itu yang paling dilarang karena setiap
habis hujan-hujanan bakal pilek aka ingusan. Ini yang bikin gak bisa bohong
tapi semakin dilarang, semakin menjadi. Maklumlah, namanya anak-anak. Ehehe
Yang
hebat, habis main super akrab tiba-tiba berantem.
Wuih.
Jarang sih berantem yang super ekstrim. Kebanyakan kita saling adu mulut dan
mengungkit semua hal. Mulai dari yang baru kejadian sampai kejaman bumi masih
dilewati tyrannosaurus. Pantang untuk nangis karena nangis itu berarti kalah. Satu
lagi, pantang buat ngadu.
Hayooo…
kamu tipe yang suka ngadu?
I
never did that. My parents didn’t really care with our quarrel. Buat apa coba
diadukan?
Perseteruan
intens itu paling juga bertahan satu hari. Kadang Cuma beberapa menit. Gak lama
kemudian, baikan kayak gak pernah berantem sama sekali. Nah, kadang ada yang
ngadu sama ortu terus ortunya sampai ikutan berantem.
Ortunya
berantem bela anak masing-masing terus musuhan sampai kiamat. Sementara anak-anaknya
kembali main bareng tanpa konflik. Yang jadi ortu, jadilah ortu yang bijak. Kadang
pertengkaran anak Cuma perkara satu permen. Eh, ortunya malah dendam kesumat
gak jelas.
Terkadang
emang sih, berantem yang ekstrim.
Ituloh,
tari menarik rambut dengan kekuatan penuh. Sakit banget mah kalau ini. Rasanya rambut
copot sampai kekulit-kulitnya. Air mata berurai dan badan penuh bekas cakar.
Dulu
pernah ada temen yang berantem. Gini, dia berantem sama satu orang dan nantang
berantem. Mungkin sadar diri, kalau satu lawan satu, dia gak mungkin menang
jadi dia bermain politik. Dipikir ini masih SD, dia udah cukup maju.
Kita
teman sekelas yang lain didatangi dan diajak kerja sama. Harus bela dia kalau
entar berantem. Dengan politik yang bagus, semua massa berpihak sama dia. Jadi pertarungan
1 lawan satu kelaspun berlangsung.
Disana,
ditanah lapang dijalan balik sekolah. Adegannya udah persis banget sama
tawuran. Saling pandang-pandangan, saling lempar hinaan terus, perkelahian
dimulai. Wah, ini kejadian yang sampai sekarang gak bisa lupa. Sungguh bukan
pertandingan yang adil. Demi tuhan, 1 lawan sekian puluh. Jelas dia kalah…
gores sana sini dan rambut yang mungkin banyak banget lepas.
Tapi begitulah
masa SD.
Kalau
beranteman jaman SMP mah lebih melibatkan dendam. Merasa tersindir, tersaingi,
naksir satu orang yang sama, diduga merebut atau direbut pacar. Tapi udah gak
ada sih jambak-jambakan. Cuma diem-dieman sampai sekian lama.
SMP
juga jaman punya geng. Kamu juga?
Apa
ya nama geng kita dulu… jojoba? Kayaknya hampir semua geng dulu namanya begitu.
Terus ganti jadi gabungan nama. Dimasa ini dimana persahabatan terasa seperti
segalanya. Masa dimana ortu rasanya super protektif dan semua keinginan kita
dikekang. Cuma teman yang mengerti. Cuma teman tempat bercerita dan berbagi
kisah…. (dikutip dari diary adek yang masih SMP).
Dipikir-pikir,
sempitnya pemikiran. Hahaa
Ini
masa awal pacar-pacaran. Remember that time when I had to throw my books out of
the window. Then, pretending that I had to borrow some books as my alibi to get
out. Protective parents make their child a good liar. Well, I am not being
proud. But you can’t have a good story without doing some havoc.
Gimana
lagi. mau ketemu pacar kan. Pacaran sama tetangga rumahpun. Hahaa dan masa SMP
mana boleh mah pacaran. Kita kan masih lahir dijaman tanpa hape. Internetpun masih
nol. Masih anak baik-baik dengan ortu yang pada kolot. Lagu aja masih wakuncar
yang tenar.
Ini
juga jaman baru belajar motoran. I learnt how to ride motorbike when I was in
junior high but never actually could ride it until college. Masih jarang yang
dikasih motor sekolah. Kebanyakan kita ya pulang jalan kaki. Sore mungkin jjs
satu motor bertiga. Keliling kesana kemari tanpa helm. Sungguh. Merasa paling
cantik aja warawiri dijalan raya tanpa pengaman.
SMA
rasanya udah lebih gede. Lebih banyak dirumah dan mulai terpaku sama drama di
TV. Bertolak belakang sama masa SD yang hilir mudik dibelakang rumah para warga
cari apapun yang bisa dimakan.
Dulu
waktu SD kita sering mandi ke sungai gede yang gak jauh dari rumah. Terus tiap
balik kena marah. Banyak soalnya yang jadi korban tenggelam dan hanyut keseret
arus. Jadi, ortu waswas kalau kita main kesana. Gak pernah dapat izin pergi
tapi selalu pergi. Balik kena marah dalam berbagai level. Udah kayak level
pedas kripik pokoknya.
Kalau
udah kena marah, bakal kabur dan nginep di rumah nenek. Lagaknya udah kayak
kabur keluar negeri dan ganti nama padahal jarak rumah nenek sama rumah Cuma berselang
satu rumah. Pokoknya, itu bentuk perlawanan paling oke waktu masih kecil.
Niatnya
gak mau pulang biarpun ortu mohon-mohon. Eh, begitu dipanggil, langsung
mungutin semua baju dan pamitan sama nenek. Pengecut abis.
Tapi
sampai sekarang, baru sekali nemuin satu kasus perkelahian masa kecil yang pada
akhirnya gak baikan. Sumpah.
Ceritanya
gini. I have a sister and her friend.
Mereka
sama-sama masih kecil, mungkin terpaut sekitar 2 tahunan. Masih SD. Jadi suatu
sore, ikut emak ke tukang jahit buat ngepermak baju. Disana mereka mungut perca
kain buat dijadiin baju berbie.
Naasnya,
mereka jatuh hati sama perca yang sama.
Dari
tarik menarik perca. Terus ditengahi. Berhubung si adek lebih tua, dia disuruh
ngalah dan percanya dikasih sama si temen. Tapi, diam-diaman karena perkara
perca itu bikin persahabatan mereka yang dulunya abadi, hancur.
Saling
buang muka kalau ketemu. Saling sindir waktu tatap-tatapan. Pokoknya beberapa
hari habis insiden perca itu, super lucu. Kita gak habis pikir gimana bisa Cuma
karena perca. Padahal, mereka temanan dekat banget. si teman setiap hari
dirumah begitu pulang sekolah karena emang rumahnya sebelahan. Ortu sibuk kerja
jadi dia dirumah kita sampai sore. Semua canda tawa masa-masa itu berakhir
karena perca.
Setelah
beberapa tahun, sekarang mereka udah pada gede, udah SMPan, my sister and her
friend, never really talk to each other.
Absurd
tapi lucu.
Begitulah masa kecil.
Comments
Post a Comment